Selasa, 19 April 2011

GUS NENG PLEASE DEH JANGAN TENGIL

Ayya, jangan kau menghujat Allah…!.” Merah padam wajah Inas. Ia marah mendengar Ayya melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang terkesan menghujat TaqdirNya yang Maha Bijaksana.

Aku tidak sedang menghujat! Aku hanya sedang bertanya ‘dimana kekuasaanNya? Dimana taqdirNya?dimana…dimana?’. apa kau tau jawabannya Inas?.” Menghujam tajam, ke lubuk hati Inas yang paling dalam. Ayya Shofia, seorang gadis yang terkenal kelemah lembutannya, halus tutur katanya, baik budi pekertinya. Tiba-tiba berubah menjadi buas, bak induk singa yang diganggu dalam tidur nyenyaknya. Inas memilih diam, ia tak mau menambah amarah di hati Ayya.

Ukhti, hentikan pertanyaanmu itu!. Allah Maha Kuasa, Allah Maha di atas segala Maha. Tak pantas kau berucap seperti itu.” Ucap Faisal dengan suara lantang, seolah tak mau kalah tegas oleh Ayya. Ucapan Faisal ternyata tak mampu melunakkan hati Ayya, ucapan itu justru menjadi solar yang kian memperbesar kobaran api amarah di hati Ayya. Faisal adalah seorang putera Kyai besar, Ayahnya begitu tersohor di Indonesia. Namun, keluhuran budi sang Ayah agaknya tak menurun sedikitpun padanya. Entahlah… mungkin karena lingkungan yang terlalu memanjakannya.

Hai… diam kau Gus!. Kau mengatakan Allah Maha Kuasa, kau katakan Allah Maha di atas segala Maha, apakah betul di dalam hati mu betul-betul tertanam apa yang kau ucap tadi???!.” Ucap Ayya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Faisal.

Ucapan Ayya menarik perhatian seisi kelas. Semua mata mengarah pada mereka bertiga. Inas menjadi panic, Inas tak ingin terjadi pertengkaran antara Ayya dan Faisal. Akan tetapi, ia pun tak mampu meredam amarah sang sahabat. “Kenapa kau berbicara seperti itu Ayya?. Ku mohon tenangkan diri mu sobat, lihatlah kita jadi pusat perhatian seisi kelas…” Inas mencoba meredam.

oh… lebih bagus itu sobat, biar seisi kelas ini menjadi saksi ucapan Gus Faisal. Gus Faisal yang terhormat, tak sedikit pun saya yaqin kata-kata yang baru saja keluar dari lisan anda adalah murni dari hati anda. Wallohi, saya tak yaqin sama sekali!.” Hening. Ruang kelas yang tak begitu luas itu kini berubah menjadi hening, bak kuburan.

Ayya, kau ini apa-apaan sih?. Apa sebetulnya yang membuat mu seperti ini, begitu membenciku, dan tak sedikit pun percaya terhadap apa yang aku ucap tadi?. Aku salah apa Ayya?!!.” Ucap Faisal dengan nada yang agak meninggi. Keadaan di ruangan itu berubah menjadi panas. Teman-teman Ayya hanya diam, walau di dalam hati mereka bergemuruh amarah yang sama dengan Ayya. Namun, mereka tak senekat Ayya yang berani terang-terangan meluapkan amarahnya pada Faisal.

Entah sudah menjadi tradisi, entah itu hanya kebetulan saja. Faisal yang putera seorang Kyai besar, begitu sok berkuasa. Mengatur seisi kelas, memerintah seenaknya dan meremehkan orang semaunya. Padahal ia bukan siapa-siapa, ia seperti lupa bahwa yang Kyai besar adalah Ayahnya dan kalau bukan karena Ayahnya mungkin seluruh santrinya pun tak akan memanggilnya Gus. Tak akan menghormatinya, tak akan menyayanginya dan tak akan mau ia remehkan seperti itu. Andai Faisal adalah Ayya, apakah Faisal mau diremehkan, difitnah dengan apa yang tidak pernah ia perbuat?. Tentu ia pun tak akan mau.

Hai Gus, sebelum kau berucap pikirlah dulu!.” Ucap Ayya sambil meletakkan jari telunjuknya tepat bagian kanan keningnya. “Kalau kau yaqin Allah Maha Kuasa kenapa kau selalu bersikap sok berkuasa?!. Aku tak pernah memungkiri manusia adalah tempatnya khilaf, tapi kalau terjadi terus menerus apa itu masih akan kau katakan sebagai khilaf Gus?!”. Faisal hanya diam.

Gus, Ayya tak menuntut bahwa anda harus selalu bersikap BENAR. Tapi belajarlah meletakkan segala sesuatu di tempat yang BENAR!.” Merah padam muka Faisal, ada amarah yang tak lagi mampu ia redam. Ia yang selalu berada pada posisi yang dielu-elukan. Ia yang selalu mendapat sapaan Gus dimana pun ia menginjakkan kaki, dimana pun ia tholabul ilmy. Kini, ia harus menerima ditampar habis-habisan oleh kata-kata Ayya. Seisi ruangan menyunggingkan senyum dengan sejuta arti. Teman-teman Faisal yang merupakan teman Ayya juga, telah lelah menghadapi sikap Faisal yang selalu ingin dihormati, dilayani dan dituruti setiap keinginannya. Andai mereka berani berucap, tentu mereka akan berkata “INI BUKAN PONDOK ABAH mu GUS, KAMI BUKAN SANTRI ABAH mu, KAMI INI TEMAN mu!.”

Wajah Ayya terlihat sedikit cerah, Inas menarik napas lega. Walaupun Inas yaqin, kini api amarah tengah berkobar besar di hati Faisal. “Sudah cukup kah bukti yang saya ajukan Gus?!.” Tegas Ayya berucap. Matanya menatap Faisal tajam, Seolah ingin memojokkan Faisal. Gus Faisal yang biasa berbicara dengan begitu angkuhnya, kini tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya diam, dan perlahan menjauh dari posisi Ayya berdiri. Faisal kembali ke tempat duduknya. Selang tak berapa lama setelah Faisal kembali duduk, riuh tepuk tangan seisi kelas memenuhi ruangan.

Inas memberi isyarat kepada teman-teman untuk diam, ia takut suara tepuk tangan itu mengganggu kelas-kelas lain yang tengah belajar. Ayya pun tak mau kalah ia berdiri di depan kelas, memberi isyarat yang sama. Suasana kelas menjadi hening. Setelah berbisik sejenak dengan Inas, Ayya mengambil alih kelas. Inas kemudian duduk setelah sebelumnya menutup pintu kelas. Setelah mengucap basmallah dan salam, Ayya kemudian mengawali pembicaraannya.

Sahabat-sahabat ku, Ayya berdiri disini tidak untuk menggurui antum semua. Tidak juga untuk mempermalukan salah satu diantara kalian semua. Sahabat ku, apa kalian ingat apa tujuan kalian datang ke tempat ini?. Mari kita renungkan sejenak kawan, mari kita pikirkan dengan hati dan akal kita. Apa kita kesini dengan tujuan mencari ketenaran?. Apa kita kesini dengan tujuan agar kita dihormati oleh banyak orang?. Apa kita kesini dengan tujuan ingin mencari kebutuhan duniawi?. Ataukah kita kesini dengan tujuan tholabul ilmy?. Memperbaiki diri, belajar tawadhu dan belajar memahami bahwa kita tidak dibutuhkan umat melainkan kita lah yang butuh umat?. Yang mana tujuan mu datang kesini kawan?.” Hening. Diam tanpa kata.

Sahabat ku, ketika Ayya berbicara tadi, ketika Ayya beradu argument dengan sahabat kita. Sama sekali Ayya tidak marah dengan sahabat kita, Ayya juga tidak sedang menegurnya sama sekali tidak sahabat ku. Ayya sedang menegur diri Ayya sendiri, Ayya sering membuat sahabat ku kesal, sering membuat sahabat ku harus berusaha memenuhi permintaan Ayya, padahal mungkin ketika itu sahabat ku tengah sibuk. Dari lubuk hati yang paling dalam ana minta maaf.” Seisi ruangan tersenyum, senyum maaf untuk Ayya. Kecuali satu orang, dia adalah Faisal yang mungkin masih kesal dengan ulah Ayya tadi.

Sahabat ku, ayo kita sama-sama belajar. Belajar untuk tawadhu dan menjaga adab kita. Karena apalah artinya ilmu tanpa adab dan tawadhu. Sahabat ku, ilmu itu ibarat air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah. Bagaimana mungkin ilmu mampu kau dapat, bila kau selalu bersikap tinggi hati?. Bukankah Allah Swt telah menggambarkan di sekeliling kita, dengan air mancur yang memancar ke atas kemudian jatuh lagi ke bawah. Apakah air itu akan mengalir?. Tidak, sekali lagi tidak!. Air itu hanya akan jatuh di tempat yang sama. Begitu juga diri mu, ketika kau tholabul ilmy dengan bermodalkan sikap tinggi hati, sekali lagi Ayya yakinkan ilmu itu tak akan kalian dapat. Karena ilmu itu hanya akan jatuh pada tempat yang sama yakni tetap menjadi milik guru kita. Karena kita tak memberikan kesempatan pada ilmu itu untuk mengalir ke dalam tubuh kita. Ingat sahabat ku, bertawadhulah dan jagalah adab mu!.”

jangan kau bangga dengan apa yang dimiliki orang tua mu, jangan kau merasa pasti masuk syurga karena kalian adalah santri. Jangan sahabatku, jangan seperti itu. Apakah ketika Allah Swt menjamin Abah dan Umi kita dengan syurga, apa seketika itu juga Allah Swt menjamin kita masuk syurga juga?.”

jangan pula kalian bangga dengan gelar yang kalian sandang, letakkanlah selendang Gus juga Neng kalian itu di rumah. Jangan petantang petenteng disini, jangan sahabat ku!. Ingatlah, sebelum orang tua kita menjadi orang besar, sebelum kakek nenek kita menjadi orang besar, berilmu, disegani dan di hormati mereka pun sama seperti kita. Mereka adalah orang kecil yang terus dan terus berusaha menjadi besar. Jangan kalian kotori hasil usaha mereka dengan sikap takabur mu, jangan kau kotori hasil usaha mereka dengan tutur kata kotor mu itu. Jangan kalian merasa menjadi orang besar, tapi berusahalah menjadi orang besar.” Ucap Ayya mengakhiri pembicaraannya. Sebelum menutup pembicaraannya dengan salam Ayya kembali berucap “jangan kalian remehkan orang kecil, karena tanpa orang kecil kalian bukan orang besar. Jangan kalian remehkan seorang santri, karena tanpa adanya mereka anda bukan seorang GUS ataupun NENG. Please deh jangan jadi GUS dan NENG yang tengil…!”. Seisi ruangan dipenuhi tawa, termasuk Faisal yang sudah mampu menguasai dirinya. Dan segera meminta maaf kepada seluruh teman-temannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar